Legal Consultant

Perdata

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan.

Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata :

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”

Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foya pun dapat dimintakan pengampuan.

Siapa saja yang berhak meminta dan dapat ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan ? Pasal 434 KUHPerdata menjelaskan secara tegas bahwasanya Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.

Jadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 434 KUHPerdata, tidak semua orang dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Hukum mensyaratkan hanya orang yang memiliki hubungan darah saja yang dapat mengajukan dan ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Bahkan terhadap saudara semenda (hubungan persaudaraan karena tali perkawinan) pun, hukum tetap mengutamakan orang yang memiliki hubungan darah sebagai pemegang hak pengampuan.

Dalam menetapkan seseorang diletakkan pengampuan, Pengadilan Negeri terikat dan harus tunduk pada ketentuan pasal-pasal sebagai berikut :

Pasal 438 KUHPerdata : Bila Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda.

Pasal 439 KUHPerdata : Pangadilan Negeri setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, bila orang itu tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang Hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan Kejaksaan.

Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal dari Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dan pemeriksaan ini, yang tidak perlu dihadiri jawatan Kejaksaan, harus dibuat berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada Pengadilan Negeri.

Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-anggota keluarga sedarah.

Pasal 440 KUHPerdata : Bila Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka Pengadilan dapat memberi keputusantentang surat permintaan itu tanpa tata cara lebih lanjut, dalam hal yang sebaliknya, Pengadilan Negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas.

Pasal 441 KUHPerdata : Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam Pasal 439, bila ada alasan, Pengadilan Negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya.

Pasal 442 KUHPerdata : Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan kesimpulan Jaksa.


Hukum Waris

Pengertian Kepustakaan : Pokok-Pokok Hukum Perdata – Prof. Subekti, SH

Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain, mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat – akibatnya bagi ahli waris.

Yang dapat diwariskan

Pada asasnya, yang dapat diwariskan hanyalah hak – hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja.

Kecuali, ada hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang tidak dapat diwariskan, yaitu Perjanjian kerja, hubungan kerja, keanggotaan perseroan, dan pemberian kuasa.

Subjek Hukum Waris
Pewaris

– meninggalkan harta

– Diduga meninggal dengan meninggalkan harta
Ahli waris

– Sudah lahir pada saat warisan terbuka (Pasal 863 KUHPer)

Syarat Pewarisan
Pewaris meninggal dengan meninggalkan harta
Antara pewaris dan ahli waris harus ada hubungan darah (untuk mewaris berdasarkan UU)
Ahil waris harus patut mewaris (Pasal 838 KUHPer)

Pasal 838 KUHPer berisi :

Orang – orang yang tidak patut mendapatkan warisan :
Mereka yang telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris
Mereka yang karena putusan hakim secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada yang si meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat
Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah si yang meninggal untuk mencabut wasiatnya
Mereka yang telah menggelapkan atau merusak wasiat dari si meninggal.

Meninggal Bersama – sama antara Pewaris dan Ahli Waris
Pasal 831 KUHPer : malapetaka yang sama
Jika tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dulu tidak saling mewaris
Harus dibuktikan, selisih 1 detik dianggap tidak meninggal bersama – sama.

Prinsip Umum Dalam Kewarisan
Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta

Hak – hak dan kewajiban di bidang harta kekayaan “beralih” demi hukum. Pasal 833 KUHPer (Saisine) menimbulkan hak menuntut (Heriditatis Petitio)
Yang berhak mewaris menurut UU adalah mereka yang mempunyai hubungan darah (Pasal 832 KUHPer)
Harta tidak boleh dibiarkan tidak terbagi
Setiap orang cakap mewaris kecuali onwaardig berdasarkan Pasal 838 KUHPer

Cara Memperoleh Warisan
Mewaris berdasarkan Undang – Undang (ab intestato)
atas dasar kedudukan sendiri
atas dasar penggantian
Mewaris berdasarkan testament / wasiat

Mewaris Berdasarkan Undang – Undang

a. Atas Dasar Kedudukan Sendiri

Penggolongan ahli waris berdasarkan garis keutamaan
Golongan I (Pasal 852 – 852 a KUHPer) : Adalah Suami/isteri dan semua anak serta keturunannya dalam garis lurus kebawah
Golongan II (Pasal 855 KUHPer) : Orangtua dan saudara – saudara pewaris
Golongan III (Pasal 850 jo 858 KUHPer) : Kakek nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu
Golongan IV (Pasal 858 s.d 861 KUHPer) : Kerabat pewaris dalam garis menyamping sampai derajat keenam

b. Berdasarkan Penggantian

Syarat penggantian : orang yang digantikan telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris

Macam – macam penggantian :

– Dalam garis lencang kebawah tanpa batas (Pasal 842 KUHPer)

– Dalam garis menyamping ; saudara digantikan anak – anaknya (Pasal 844 KUHPer)

– Penggantian dalam garis ke samping dalam hal ini yang tampil adalah anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada saudara, misalnya paman, bibi atau keponakan

Harta Peninggalan Tak Terurus

Pasal 1126 KUHPer :

Harta peninggalan tak terurus jika :
tidak ada yang tampil sebagai ahli waris
Semua ahli waris menolak

Pasal 1127 KUHPer

Demi hukum, BHP wajib mengurus harta tersebut pada saat awal pengurusannya harus memberitahu kejaksaan

Pasal 1128 KUHPer

Kewajiban BHP :
Dalam hal dianggap perlu, menyegel Harta Peninggalan (HP)
Membuat daftar tentang HP
Membayar hutang pewaris
Menyelesaikan Legaat
Membuat pertanggungjawaban

Pasal 1129 KUHPer

Lewat jangka waktu 3 tahun terhitung mulai terbukanya warisan, tidak ada ahli waris yang tampil, BHP harus membuat perhitungan penutup pada negara “Negara berhak menguasai harta peninggalan”

Mewaris berdasarkan Testamen

Arti Testamen (Pasal 875 KUHPer), suatu akta yang memuat tentang apa yang dikehendaki terhadap harta setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali

Unsur – Unsur Testament
Akta
Pernyataan kehendak
Apa yang akan terjadi setelah ia meninggal terhadap akta
Dapat dicabut kembali

Syarat membuat Testament
Dewasa
Akal sehat
Tidak dapat pengampuan
Tidak ada unsur paksaan, kekhilafan, kekeliruan
Isi harus jelas

Isi Testament
Erfstelling (Pasal 954 KUHPer)

– Testamentair erfgenaam
Legaat (Pasal 957 KUHPer)

– Legetaris
Codicil (tidak berhubungan dengan harta)

Pencabutan Testament
Secara tegas, jika dibuat wasiat baru yang isinya mengenai pencabutan surat wasiat
Secara diam – diam, dibuat testament baru yang memuat pesan – pesan yang bertentangan dengan testament lama

HAK DAN KEWAJIBAN PEWARIS DAN AHLI WARIS
Pewaris
Hak, berkaitan dengan testament
Kewajiban, memperhatikan batasan bagian mutlak (legitime portie)
Legitime Portie, bagian tertentu dari ahli waris tertentu yang tidak dapat disingkirkan
Pasal 914 KUHPer, ahli waris yang mempunyai hak LP anak sah
Pasal 915 KUHPer, LP orangtua
Pasal 916 KUHPer, LP, anak luar kawin
Ahli Waris

· Hak

a. Menentukan sikap terhadap harta peninggalan

b. Menerima diam – diam atau tegas

c. Menerima dengan catatan

d. Menolak warisan

· Kewajiban
Memelihara Harta Peninggalan
Cara pembagian warisan
Melunasi hutang
Melaksanakan wasiat

PEMBAGIAN WARISAN
Prinsip pembagian warisan (Pasal 1066 KUHPer)
Tidak seorang ahli waris pun dapat dipaksa untuk membiarkan harta warisan tidak terbagi
Pembagian harta warisan dapat dituntut setiap saat (walaupun ada testament yang melarang)
Pembagian dapat ditangguhakan jangka waktu 15 tahun dengan persetujuan semua ahli waris
Cara pembagian warisan :
Pasal 1069 KUHPer

Jika semua ahli waris hadir maka pembagian dapat dilakukan menurut cara yang mereka kehendaki bersama, dengan akta polihan mereka
Pasal 1071 & 1072 KUHPer

– salah satu ahli waris tidak mau membantu

– Salah satu ahli waris lalai

– Salah satu ahli waris belum dewasa / di bawah pengampuan, dengan keputusan hakim, Balai Harta Peninggalan (BHP) mewakilli mereka
Pasal 1074 KUHPer

– Pembagian harus dengan akta otentik

– Soal yang berhubungan erat dengan pembagian warisan – Inbreng, pengembalian benda pada boedel warisan

Bagian Anak Luar Kawin

Diakui Pasal 862 – 863 KUHPer
Bersama golongan I : 1/3 bagian anak sah
Bersama golongan II : ½ harta peninggalan
Bersama golongan III : ¾ harta peninggalan

Kepustakaan : Pokok-Pokok Hukum Perdata – Prof. Subekti, SH


Pengaturan Harta Warisan

Ada satu kaidah yang umum berlaku, sesuatu yang didapat lewat cara kekerasan akan melahirkan kekerasan pula. Demikian pula dengan harta yang didapat dengan cara sengketa akan menyimpan bara, yang pada gilirannya akan memunculkan sengketa pula. Kaidah tersebut banyak dipercaya orang bukan hanya dalam konteks harta warisan keluarga biasa, akan tetapi juga berlaku dalam tatanan politik sebuah negara atau kerajaan.

Masalah harta warisan merupakan permasalahan yang sangat pelik. Bagi sebagian kalangan persoalan harta warisan ini bahkan bisa menimbulkan peperangan, perpecahan hingga saling fitnah dalam keluarga. Untuk itu perlunya pengaturan masalah harta warisan, agar terdapat kepastian hukum bagi orang yang akan membagi harta warisan kepada anak, istri suami maupun pewaris yang berhak, dalam hal ini oleh negara telah dibentuk Subdirektorat Harta Peninggalan pada Departemen Hukum dan HAM.

Sebagai bagian dari Direktorat Perdata, Subdirektorat Harta Peninggalan terbagi dalam tiga bagian yaitu Seksi Pembinaan Balai Harta Peninggalan, bertugas menyiapkan bahan rancangan kebijakan dan petunjuk teknis, telaahan, pengawasan atas pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan serta penerbitan Surat Tanda Terdaftar sebagai kurator dan pengurus. Seksi Daftar Wasiat bertugas menyusun daftar yang dilaporkan oleh Notaris, meneliti data formal daftar wasiat dan penyiapan bahan penyelesaian permohonan surat keterangan wasiat. Seksi Dokumentasi bertugas mengelola daftar wasait dan dokmen-dokumen harta peninggalan.

Persoalan wasiat bermula dari satu cerita sejak jaman Belanda, pada waktu itu banyak petinggi Belanda yang memiliki tanah perkebunan yang cukup luas dan harta berharga lain, tentunya selaku pemilik menginginkan agar harta terbagi secara merata kepada yang berhak. Untuk itu diperlukan bukti kuat yang mengatur pembagian harta peninggalan berdasarkan testament register.

Maka dibuatlah surat wasiat dihadapan notaris, dengan akta nota riil, hukum bw berdasarkan ordonansi daftar pst wasiat LN no.1920/35 jo LN 1921 No.565 yang berlaku. Kemudian notaries harus melaporkan surat wasiat yang dibuat ke Departemen Hukum dan HAM, khususnya di Sub Direktorat Balai Peninggalan dalam waktu sebulan kemudian. Hal inilah yang berlaku selama beratus-ratus tahun. Jadi dimanapun orang membuat wasiat, baik dari Sabang sampai Merauke dia harus lapor ke pusat wasiat (Ditjen AHU).

Ordonansi lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) (psl 16 ayat 1 huruf h & i UU.30/2004), notaris diwajibkan membuat daftar akta yang berhubungan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan. Setiap bulan notaris harus mengirimkan akta ke Depkumham dalam jangka waktu 5 hari pada bulan berikut.

Adapun kewajiban dari Subdit Harta Peninggalan adalah memberikan keterangan kepada orang-orang yang mau membagi warisan itu. Hak warisan tidak akan keluar sebelum ada keterangan dari Ditjen AHU. Lingkup tugas pusat data wasiat sebagai landasan bagi orang yang akan membagi harta warisan. Jadi dengan surat tersebut orang akan membagi warisan. Seperti kita ketahui bahwa wasiat akan berlaku setelah pembuat wasiat itu meninggal dunia.

Namun demikian sayangnya notaris akhir-akhir ini kurang taat dalam melaporkan masalah wasiat, padahal itu berbahaya. Karena merupakan perbuatan melawan hukum dan akan mendapatkan tuntutan sanksi di pasal 84-85 UUJN, ketentuan pasal 16 ayat 1 huruf h & i. Pelanggaran tersebut mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut biaya ganti rugi dan bunga kepada notaris yang tidak melakukan itu.

Di Departemen Hukum dan HAM, wasiat yang dilaporkan berupa data laporan notaris. Jadi tidak diketahui apa isi wasiat itu, tetapi hanya laporan bahwa terdapat wasiat yang dibuat oleh si A dihadapan notaris B, dimana pada tanggal berapa. Data yang diterima akan dicatat dalam data base untuk memudahkan penyimpanan. Data inilah yang menjadi sebuah informasi kemudian surat itu bisa diperoleh, misal notaris meninggal akan ketahuan dari protokolnya.

Sedangkan untuk data nihil, hal tersebut tetap harus dilaporkan. Nihil perlu dilapor, karena bisa menjadi pembuktian bahwa walaupun ada orang kaya tetapi tidak membuat wasiat, tentunya hal tersebut untuk menghindari pemalsuan wasiat. Kadang ada juga orang yang mengaku-ngaku mendapat wasiat.

Pembuatan wasiat sangat penting. Karena walaupun bersifat personal pembuatan wasiat adalah untuk melindungi harta yang diperoleh bertahun-tahun yang penuh perjuangan. Bagi yang tidak punya harta ya tidak perlulah tapi kalau ingin kepastian hukum maka harus dibuat akta wasiat. Membuat wasiat tidak perlu di notaris, tetapi bisa menulis sendiri, hal tersebut ada mekanismenya.

Adapun cara mendapatkan Surat Keterangan Wasiat (SKW), yaitu mengajukan permohonan ke Depkumham selaku pusat data wasiat. Bagi yang mengajukan harus melengkapi permohonan dilampirkan fotocopy akta kematian atas nama pemilik wasiat, Surat Keterangan Kematian (SKK) dari Kelurahan, SKK dari Kedutaan bagi warga negara Indonesia yang meninggal di luar negeri, KTP, KK, Surat Ganti Nama (bagi warga negara yang mengubah nama terutama orang China), Surat Kelahiran, Akta Nikah dan biaya map koperasi Rp. 50.000,- .

Setelah data-data masuk, akan diproses dan muncul dua kemungkin jawaban dari Depkumham “terdaftar” dan “tidak terdaftar”. Terdaftar wasiat sesuai yang didaftar ke kami, misalnya akte nomor berapa, pekerjaan waktu hidup, alamat dan informasi siapa notaris penyimpan protokol itu. Mungkin notaris yang sama kalau masih hidup, tapi kalau sudah meninggal siapa penyimpan protokolnya yang ditunjuk oleh notaries semula. Sedangkan bagi yang tidak terdaftar artinya orang tersebut memang belum pernah membuat wasiat.

Bagi orang yang banyak harta tapi belum sempat membuat wasiat? Maka tetap saja bisa dibagi, tetapi sudah banyak kejadian walaupun sudah diatur sedemikian rupa, tetap saja harta menjadi rebutan. Apalagi jika tidak ada yang mengatur ? tentu perebutan akan lebih besar lagi.

Jadi dia akan kembali pada peraturan awal hukum waris yang dianut, apakah dia tunduk pada Hukum BW, Hukum Islam, Hukum adat atau yang lain. Akta wasiat kalau dibuat menjadi semacam UU bagi mereka. Beda hukum waris dengan pembagian warisan berdasar wasiat. Kalau wasiat orang yang tidak ada hubungan darahpun bisa dapat wasiat, (seperti cerita telenovela Maria Mercedes), tetapi kalau Hukum Waris maka warisan akan dibagi kepada yang berhak sesuai dengan garis keturunan.

Implementasi dari wasiat di lapangan adalah sebagai berikut, setelah SKW ditandatangani oleh Direktur Perdata, yang menyatakan bahwa SKW atas nama pemohon terdaftar dan tidak terdaftar. Kalau terdaftar bisa digunakan untuk mendapatkan data mengenai wasiat yang dibuat untuk dibawa ke notaris bersangkutan. Notaris berwenang membuat Surat Keterangan Hak Pewaris, yakni surat yang menyatakan siapa ahli waris yang meninggal untuk kemudian sebagai dasar membagi warisan sesuai ketentuan.

Wasiat akan berguna apabila yang membuat sudah meninggal. Begitu pentingnya peran wasiat, sehingga bagi notaries yang melanggar dalam arti tidak melaporkan surat wasiat sesuai aturan maka akan diberikan sanksi. Menurut pasal 84 UU 30/04 tentang UU JN, apabila terdapat wasiat yang tidak dilaporkan maka akta akan mempunyai kekuatan dibawah tangan atau batal demi hukum. Dengan demikian kepada para pihak yang dirugikan bisa menuntut biaya ganti rugi kepada notaries bersangkutan.

Tugas ini berkaitan erat dengan tugas Majelis Pengawas Notaris Wilayah (MPW) dan Majelis Pengawas Notaris Daerah (MPD). Dipundak merekalah tanggung jawab dibebankan untuk mendidik ketaatan notaris. Jadi diharapkan agar MPW, MPD benar-benar melaksanakan pengawasan ketaatan notaries untuk melaporkan wasiat setiap bulan.MPW, MPD berwenang memeriksa kantor notaris, sebab wasiat yang tidak dilaporkan akan merugikan masyarakat dan menuntut.

Bagi pemohon SKW didaerah, mereka tetap harus datang ke Ditjen AHU sebagai pusat data. Mengingat pentingnya data wasiat maka pekerjaan ini sulit untuk didelegasikan ke daerah-daerah, untuk menghindarkan penggandaan claim wasiat oleh orang-orang tertentu.

Sumber : http://www.majalah.depkumham.go.id


Saksi dalam Hukum Acara Perdata

Hukum Acara Perdata dapat disebut juga dengan Hukum Perdata Formil, namun lebih lazim dipergunakan istilah “Hukum Acara Perdata”. Hukum Acara Perdata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum perdata disebabkan Hukum Acara Perdata adalah ketentuan yangmengatur cara-cara berperkara di depan pengadilan.

Dalam berbagai literatur Hukum Acara Perdata, terdapat berbagai macam definisi Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana), yang satu sama lain merumuskan berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang sama. Wirdjono Prodjodikoro (1976 : 43) menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata. Sudikno Mertokusumo (1993 : 2), menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Materiil dengan perantaraan hakim”.

Soepomo (1958 : 4) dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri” meskipun tidak memberikan batasan, tetapi dengan menghubungkan tugas hakim, menjelaskan. Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditetapkan oleh hukum dalam suatu perkara. Inti dari berbagai definisi (rumusan) Hukum Acara Perdata diatas ini, agakanya tidak berbeda dengan apa yang telah dirumuskan dalam Laporan Hasil Simposium Pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman tanggal 21 – 23 tahun 1984 di Yogyakarta, bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya untuk menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum perdata materiil.

Hukum perdata materiil yang ingin dipertahankan atau ditegakkan dengan Hukum Acara Perdata tersebut meliputi peraturan hukum tertulis dalam bentuk perundang-undangan (seperti BW, WVK, UUPA, Undang-Undang Perkawinan dan sebagainya) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat. Hukum perdata ini harus ditaati oleh setiap orang agar tecipta ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat.

Apabila dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, ada yang melakukan pelanggaran terhadap norma/kaidah Hukum Perdata tersebut, misalnya penjual tidak menyerahkan barang yang dijualnya maka hal itu jelas menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. Untuk memulihkan hak perdatapihak lain yang telah dirugikan ini, maka Hukum Perdata Materiil yang telah dilanggar itu harus dipertahankan atau ditegakkan, yaitu dengan cara mempergunakan Hukum Acara Perdata. Jadi pihak lain yang hak perdatanya dirugikan karena pelanggaran terhadap hukum perdata tersebut, tidak boleh memulihkan hak perdatanya itu dengan cara main hakim sendiri, melainkan harus menurut ketantuan yang termuat dalam Hukum Acara Perdata.

Di sisi lain dapat dikatakan, bahwa pelanggaran terhadap Hukum Perdata itu akan menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup Hukum Perdata. Cara menyelesaikan perkara perdata ini di dalam negara yang berdasar atas hukum, tidak boleh dengan main hakim sendiri, tetapi harus dengan jalan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata. Oleh karena itu dapat juga dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan.

Seluk beluk bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan, semuanya diatur dalam Hukum Acara Perdata. Dengan adanya Hukum Acara Perdata masyarakat merasa adanya kepastian hukum, bahwa setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya, dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Hukum Perdata yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut melalui pengadilan. Dengan Hukum Acara Perdata diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum (perdata) dalam masyarakat.

Untuk dapat mencapai apa yang menjadi tujuan Hukum Acara Perdata sebagaimana disebutkan diatas ini, maka pada umumnya peratutan-peraturan Hukum Acara Perdata bersifat mengatur dan memaksa. karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat mengatur dan memaksa ini tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan pihak-pihak yang berkepentingan mau tidak mau harus tunduk dan mentaatinya. Meskipun demikian ada juga bagian dari Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap, karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan, sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap ini dapat dikesampingkan atau disampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya mengenai alat-alat bukti yang dipergunakan untuk pembuktian suatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan satu alat bukti saja misalnya tulisan, dan pembuktian dengan alat bukti lain yang diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang berlaku bagi orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut dinamakan “Perjanjian Pembuktian”, yang menurut hukum memang dibolehkan dalam batas-batas tertentu.

Dalam proses peradilan perkara perdata dikenal adanya Testimonium de auditu yaitu keterangan saksi yang diperolehnya dari pihak lain yang melihat dan mengetahui adanya suatu peristiwa namun pihak yang mengetahui tersebut tidak bersaksi di pengadilan melainkan menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Misalnya, pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga ini menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Di persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga bahwa telah terjadi perjanjian utang piutang antara kedua belah pihak.

Hal yang penting diketahui sehubungan dengan kesaksian Testamonium de Auditu adalah kekuatan pembuktian keterangan tersebut. Untuk mengetahui kekuatan pembuktiannya maka hal yang harus diperhatikan adalah Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW sebagai sumber hukum perdata di Indonesia. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi haruslah tentang peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri atau dialami sendiri. Lagi pula setiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya dan bagaimana sehingga peristiwa atau sesuatu yang diterangkannya.

Pendapat atau dugaan yang diperoleh karena berpikir bukanlah merupakan kesaksian. Demikian juga kesaksian yang didengar dari orang lain yang disebut testimonium de auditu tersebut jika didasarkan pada Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan (Mahkamah Agung tgl 15-03-1972 No. 547 K/Sip/1971 tanggal 05-05-1971 No. 803 K/Sip/1970). tapi dalam putusan tanggal 11 November 1959 No. 308 K/Sip/1959 Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung namun penggunaaannya tidak dilarang sebagai persangkaan.

Pada umumnya, testimonium de auditu tidak diperkenankan karena tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Namun, hakim tetap dapat bebas untuk memberikan pendapat bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga dapat dianggap sebagai persangkaan.

Sumber: dari berbagai sumber